Ratusan Pedagang Kecil di Pantai Barat Pangandaran Keluhkan Sulitnya Akses Kredit Usaha, Pemerintah Dinilai Abai
Pangandaran, globalaktual.com – Ratusan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menggantungkan hidup di sepanjang kawasan wisata Pantai Barat Pangandaran mengeluhkan tidak adanya akses kredit usaha yang berpihak kepada mereka. Keluhan tersebut semakin menguat setelah tak kunjung ada kebijakan nyata dari pihak eksekutif maupun legislatif Kabupaten Pangandaran.
Bambang (50), salah satu pedagang makanan ringan dan minuman kelapa muda yang sudah berjualan selama lebih dari lima tahun di tepi pantai, menyatakan kekecewaannya terhadap sikap pemerintah daerah. Menurutnya, para pedagang kecil seperti dirinya justru menjadi kelompok yang paling tertinggal dalam hal pemberdayaan ekonomi.
“Sudah bertahun-tahun kami berdagang di sini, tapi belum pernah sekalipun ada program bantuan modal atau kemudahan akses kredit dari pemerintah daerah. Padahal kami juga penyumbang roda ekonomi pariwisata,” ujar Bambang saat ditemui di lapaknya, Selasa (6/5/2025).
Menurut Bambang, mayoritas pedagang di kawasan tersebut tidak memiliki agunan atau jaminan yang disyaratkan oleh bank, sehingga sulit mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR) ataupun pembiayaan mikro dari lembaga keuangan formal. Akibatnya, sebagian pedagang terpaksa meminjam dana dari rentenir dengan bunga mencekik hingga 20% per bulan.
“Kalau terus seperti ini, kami hanya jadi korban. Harusnya pemerintah hadir memberikan solusi, bukan malah diam saja,” tambahnya.
Dari pantauan di lapangan, kawasan Pantai Barat Pangandaran memang dipenuhi oleh ratusan pedagang kaki lima yang menjual aneka makanan, minuman, pakaian pantai, hingga jasa sewa ban dan pelampung. Mereka merupakan salah satu penggerak ekonomi lokal, namun sayangnya belum tersentuh program pemberdayaan yang terstruktur.
Keluhan senada juga disampaikan oleh Heni (45), penjual kopi dan kelapa muda. Ia menilai bahwa program bantuan untuk UMKM masih menyasar kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kedekatan dengan pejabat, sementara pelaku usaha mandiri seperti dirinya kerap luput dari perhatian.
“Kami ini ada di garis depan pariwisata, melayani ribuan wisatawan setiap hari. Tapi giliran bicara soal bantuan atau kredit, kami seperti tidak dianggap ada,” katanya dengan nada kecewa.
Permasalahan akses modal ini semakin diperparah dengan naiknya harga bahan pokok dan menurunnya daya beli wisatawan. Pedagang berharap, baik pemerintah eksekutif maupun legislatif tidak hanya sibuk membahas pembangunan fisik, tetapi juga serius menyusun kebijakan ekonomi inklusif yang menyentuh langsung kebutuhan pelaku usaha kecil.
Pemerintah daerah harus segera mengevaluasi program ekonomi kerakyatan yang berjalan. Menurutnya, kebijakan pemberdayaan UMKM harus diprioritaskan dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD).
“Kalau bicara pariwisata, tidak hanya soal membangun infrastruktur, tetapi juga membangun manusianya, termasuk para pelaku UMKM. Mereka butuh akses modal, pelatihan, dan jaminan pasar agar bisa bertahan dan berkembang,” tegasnya.
Dengan kondisi tersebut, para pedagang mendesak adanya intervensi nyata dari pemerintah agar keadilan ekonomi benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya mereka yang berada di sektor informal. (Hrs)